19 September 2006

Pelangi nggombal lagi!!

Andainya cinta boleh kuberi nama
Maka akan ada namamu di sana
Andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga
Maka tak cukup satu juta bunga membawanya

Huuh..aku digombalin lagi…
Masih dengan senyum kemerahan ku tatap lagi biru layar Hpku. Pelangi… dia tak berubah sedikit pun. Masih tetap nggodain aku, meski dia tahu aku tidak suka, karena itu membuatku tersipu malu, meruntuhkan egoku.

Belakangan ini Pelangi sering mengirim sms berisi puisi. Waktu aku tanya kenapa, dia bilang karena dia cinta. Gedubrakk…!! Bagaimana aku tidak tersenyum kemerahan? Tapi, jujur saja. Aku juga cinta…

Ahh... sudah berapa tahun aku berpisah dengan Pelangi? Empat, lima tahun. Aku masih mengenang sosoknya dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans belel yang disobek bagian lututnya. Meskipun aku ngomel panjang lebar soal cara berpakaiannya, dia cuma mendengarkan sambil nyengir, dan bilang… kamu tambah manis kalo ngomel. Dan ucapannya itu sudah cukup membuatku keki, untuk kemudian berhenti ngomel. Dia memang pintar, tahu kelemahanku. Pelangi, kalo boleh jujur, aku juga rindu…
*****
“mbak, masa’ ada ikhwan yang ngirim sms aku kaya gini” kata Dina, adik tingkatku, sambil menyodorkan Hpnya. Ku baca beberapa sms, dari pengirim yang sama. Isinya, puisi sanjungan. Aku tersenyum, jadi ingat Pelangi. Sudah dua hari dia tidak sms, kangen juga.

“gimana, mbak?”
“ikhwannya lagi futur kali, dik. Kamu bales apa?” aku mencoba menjawab searif mungkin.
“belum aku bales. Makanya aku nanya ama mbak. Sebenarnya aku mau marah mbak, lha wong ikhwan, udah angkatan atas, udah tahu adab bergaul sama lawan jenis, kok malah ngirimnya kaya gini. Ga malu apa! Apalagi aku kan adik tingkatnya. Sebel kan mbak. Tadinya sih, aku fikir, salah kirim. Tapi kok sampai lima kali. Ga mungkin kan mbak. Nggak cuma itu mbak, dia juga suka missed call tanpa alasan. Malam-malam juga. Mengganggu orang tidur. Uuhh..Kesel! Sebel!”

“iya, ya. mbak ngerti. Ayo istighfar dulu, udah ghibbah...yah, mungkin dia memang salah..”
“lho, kok mbak mbelain dia sih. Mentang-mentang teman seangkatan ya?”
“aduh, dik. bukan begitu. Kalo mau melihat masalahnya, jangan hanya dari satu sisi saja. Kita sendiri juga harus instropeksi lho. Kenapa dia bisa sms seperti itu ke adik? Mungkinkah..? Yach..afwan”

“ga papa mbak, Dita ngerti maksud mbak. Tapi, seingatku, aku ga pernah berhubungan sama dia. Eh, pernah! Itu juga cuma satu kali, waktu kepanitiaan kemarin. Tapi, waktu itu menurutku hubungannya biasa aja, sama kaya hubungan ikhwan-akhwat lainnya, hubungan karena amanah.”

“alhamdulillah. Yach, kalo gitu diingetin aja, dik. Mungkin dia lagi khilaf. Tapi, pake bahasanya jangan kasar-kasar. "
“iya ya mbak. Dita coba deh. jazakillah mbak. Afwan, aku duluan, ada kuliah. Assalamualaikum.”
“wa’alaikum salam warahmatullah.”

Bagaimana reaksi Dita seandainya dia baca sms Pelangi ya? Lucu juga kayanya.Tapi, kalo sama Pelangi kan aman. Ga mungkin neko-neko. Pelangi, kamu lagi ngapain sekarang? Missed call ah. Eh, nggak mau. Nanti dia bales sms. Kenapa? Kangen ya? Uuhh… kan tengsin. Jatuh deh harga diri.

*****
tiiit…tiit…tiiit
Hpku berbunyi. Cepat-cepat kuambil HP di dalam tas. Sms. Semoga aja dari Pelangi. Ohh, bukan. Undangan rapat. Yachh... kecewa deh. Pelangi kenapa ya? Sudah satu minggu, nggak kirim sms atau missed call. Jangan-jangan… udah punya yang baru? Yang lebih diperhatikan? Ihh, kok aku jadi gini sih? Apakah itu artinya aku cemburu? Cemburu gara-gara Pelangi? Bisa kubayangkan reaksi Pelangi kalo dia tahu. Mungkin sama waktu aku marah, karena dia pergi tanpa pamit ke aku.
*****

“kok, Pelangi pergi ga pamit sih? Kita kan udah punya rencana buat hari minggu ini. Jadi gagal, deh.”

Pelangi dengan senyum nyengirnya cuma berkata "iye, maap. Kemarin buru-buru, ga sempat pamit. Lagian perginya cuma dua hari kan ga papa. Masa’ udah kangen.”

Oh, God! Mulai lagi penyakitnya, bikin orang keki.
“ eh, siapa yang kangen. Aku cuma nggak enak sama anak-anak. Mereka pada nanyain kamu ke aku. Emangnya aku baby sittermu apa! Trus, si Sari juga nanyain kamu tuh. Katanya kamu ada janji ama dia.”

“ Ohh…aku tahu.” Pelangi manggut-manggut sambil tersenyum. Senyum itu. O..o aku tahu arti senyum itu. Aku bakalan dibikin keki.
“cemburu ma Sari ya?”
Tuh, kan. Tapi kali ini aku ga mau kalah.
“ siapa juga yang cemburu. GR amat. Amat aja nggak GR.”
“iye, iye. Pelangi salah. Tapi, jangan marah ya. Pelangi ga tahu bagaimana menghadapi hidup ini kalo nggak ada Dinda. Pelangi nggak bisa mbayangin, kalo harus berpisah dengan Dinda. Dunia pasti terasa sempit, gelap, dan beku. Pelangi akan…bla..bla..bla… Kututup telingaku sebagai tanda protes karena dia mulai mengeluarkan kamus puisinya. Nggomballl!

*****
Dua minggu berlalu, Pelangi masih tetap tidak memberi kabar. Akhirnya kuberanikan diri kirim sms. Sekedar menanyakan kabar dan kesibukannya. Tak apalah kalo aku dibikin keki lagi. Daripada aku cuma bengong mikirin dia aja, paling tidak aku melakukan satu tindakan. Toh, tidak ada salahnya kan…?

Satu, dua hari berlalu. Pelangi tidak membalas smsku. Kenapa? Pelangi, apakah kamu baik-baik saja? Jangan-jangan dia sakit lagi. Ingatanku melayang pada sosok tirusnya, ketika dia terpaksa di rawat inap selama dua minggu di rumah sakit, karena maag yang sudah akut, ditambah dengan tifus.

*****
“ Pelangi, kok bisa sampai begini sih? Kalo butuh bantuan, bilang aja. Jangan semuanya dikerjakan sendiri.”

“ minta bantuan Dinda? Nggak ah! Tengsin. Lagipula, ini kan urusan keluarga Pelangi. “

“tapi, kalo kejadiannya kaya gini. Yang sedih kan kita semua. Kamu memang keras kepala. Tidak pernah mau mendengarkan Dinda. Kamu selalu pura-pura sehat di depan Dinda. Padahal kamu menahan sakit. Iya kan? Kenapa sih Pelangi tidak mau berterus terang ke Dinda. Apakah Dinda tidak pantas untuk….”

“ssstt.” Serentak Pelangi menempelkan telunjuknya ke mulutku, dan mengusap aliran bening dari mataku. Masih dalam isakanku, aku berucap lirih, “ Dinda nggak mau kehilangan Pelangi.”
“eh, ngomong apaan sih. Pelangi kan masih di sini. Allah masih sayang ama Pelangi kok. Dinda nggak kehilangan siapa-siapa. I’ll be here for u, honey”
Pelangi, meskipun sakit, dia tetep nggombal.

“janji ya, kalo kamu merasa tidak sehat, bilang ama Dinda. Pokoknya Dinda mau maksa Pelangi cuti kerja. Ayo, janji.” Kusodorkan jari kelingkingku dan Pelangi pun segera menautkan kelingkingnya.

“Beruntungnya, Pelangi punya Dinda, yang selalu mengkhawatirkan keadaan Pelangi. Dunia terasa seperti taman surga yang tak mengenal kegelapan. Di mana-mana yang ada hanya….bla…bla….”
Kucubit pinggang Pelangi karena dia nggombal lagi. Rasain lu…

*****

Ayah Pelangi meninggal ketika dia baru kelas satu SMA. Dan sejak itu, dia mulai bekerja parttime di supermarket, untuk membantu ibunya menghidupi keluarga serta membiayai sekolah tiga adiknya. Ibunya sendiri buka warung makan kecil di rumah. Sering kali aku mendapati Pelangi tertidur di kelas, karena kecapaian, setelah malamnya kerja. Seandainya aku bisa membantumu, tapi…ekonomi keluargaku juga pas-pasan. Pelangi…

Pelangi juga sering mengirim tulisan ke berbagai majalah. Kalo yang satu ini, bukan untuk mencari penghasilan, karena honornya memang tidak seberapa. Tapi, karena dia senang menulis, mungkin darah seni ayahnya mengalir dalam dirinya, dan jujur kuakui, tulisannya memang bagus. Itulah mengapa dia sering mengucapkan kata-kata puitis yang lebih sering kusebut nggombal.

Pelangi lebih senang menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku sastra daripada majalah-majalah islami yang kusodorkan padanya. Bahkan, cara berpakaiannya pun dikaitkan sama hobi sastranya itu. Kalo aku bilang, kenapa pake jeans belel? Kan ada pakaian yang lebih nyar’i? Dia cuma bilang, namanya juga seniman. Kamu nggak seneng punya teman seniman? Kan enak bisa digombalin setiap hari?

*****

Sudah tiga puluh menit aku menunggu Pelangi. Huuh, anak itu memang tak pernah belajar soal waktu. Tadi pagi, sehabis subuh, Pelangi sms. Sms tersingkat yang pernah kuterima dari Pelangi. Pelangi mau ke rumah Dinda, jam 10. Hanya satu kalimat itu. Ketika aku balik bertanya, tentang kepulangannya yang mendadak, aku hanya mendapatkan missed call. Tapi, aku sangat senang sekali. Kubayangkan sosoknya yang tinggi kurus dengan rambut cepaknya, memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang yang selalu digulung, dan jeans belel. Pelangi, aku rindu…

Aku sudah berdandan secantik mungkin. Bahkan 20 menit kuhabiskan waktuku cuma untuk memilih gamis mana yang akan kupakai. Sudah kurancang pertanyaan-pertanyaan yang akan kutanyakan. Juga rencana untuk menghabiskan waktuku bersamanya. Paling tidak, dia pasti akan beberapa hari di kota ini. Jadi aku punya waktu untuk mengajaknya ke tempat-tempat yang biasa kita kunjungi dulu.

Satu jam berlalu. Pelangi belum juga muncul. Aduuh. Kenapa ya? Apa aku telepon aja? Ah, jangan. Mungkin Pelangi masih di rumah saudaranya yang ada di kota ini. Atau masih berputar-putar di toko, nyari hadiah untukku? Ah, GR amat. Bertemu Pelangi saja sudah syukur banget. Nggak perlu pake hadiah segala.

“assalamualaikum” terdengar suara mengucap salam.
Pelangi? Ah, bukan. Bukan suaranya. Sedikit malas, aku beranjak membuka pintu.

“wa’alaikumsalam”
Ahh, seorang ikhwan dan akhwat. Sepertinya suami istri. Mungkin teman ibu.
“ya, cari siapa?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, pasangan itu malah saling pandang dan tersenyum. Senyuman sang istri… seperti menyembunyikan sesuatu. Karena tak juga dijawab, akhirnya aku bertanya lagi. “ afwan, mau bertemu siapa?”

Kali ini akhirnya sang suami angkat bicara.
“oh..eh..afwan ukh. Jadi bengong. Ada yang mau bertemu anti” katanya sambil melirik sang istri yang masih saja tersenyum… misterius.

“ s..s.. saya? afwan, tapi ini siapa ya? afwan kalo saya lupa, tapi…

Belum selesai aku meneruskan kalimatku, tiba-tiba sudah ada satu ciuman mendarat di pipiku, dari sang istri tentu saja. Allahu akbar. Gimana ini? Bagaimana aku bisa menyembunyikan rasa malu ini? Di depan ikhwan, saudara-saudara! Siapa sih akhwat ini. Seenaknya saja bikin malu orang.

Aku masih terdiam, karena aku tidak tahu harus berkata apa. Penyakit lama, kalo malu, jadi blank. Aku cuma melihat, sang istri tersenyum, dan suaminya yang melihat adegan tadi, cuma menunduk sambil menahan tawa kecilnya. Aduuh…aku semakin malu.

“ tuh kan, lihat sendiri kan kak. Dinda ini orangnya memang pemalu”
Allahu akbar! Suara ini. Benarkah pendengaranku ini? Aku masih menatap tak percaya sang istri. Kuperhatikan dari ujung kepala sampai kaki. Jilbab biru muda, gamis biru kotak-kotak… wajah yang tersenyum itu…
“ bangun, Nda. Ini bukan mimpi kok. Masih nggak percaya? Mau di…”

Begitu aku sadar bahwa akhwat di depanku adalah dia, aku langsung menghambur memeluknya.
“ pelangi…”

Yah, dia adalah Pelangi. Pelangi yang tomboy telah beganti menjadi seorang akhwat. Subhanallah, akhirnya Kau berikan juga hidayah itu untuk Pelangiku.

“ eh, Dinda, udah donk meluknya. Kasihan dede’ yang di dalem nih” kata Pelangi seraya mengusap perutnya.

“ eh, aduhh, afwan saking senengnya Dinda sampai lupa. Masuk dulu yuk, kita ngobrol di dalam.”

Aku berjalan menggandeng tangan Pelangi, sementara sang suami mengikuti kami dari belakang. Sambil berbisik, aku berkata ” andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga, tak cukup satu juta bunga membawanya…”

Pelangi tertawa seraya menoleh ke belakang dan berkata “ kak, ade’ berhasil…”

*****
Behind the Scene
puisi yang di atas itu sebenernya punyanya mbak IJ (Izzatul Jannah) yang di sms shinta ke aku. idenya juga karena aku sering banget digombali sama dGank, terutama Shinta. kalo soal karakter Pelangi, bener-bener ada orangnya. temen deket. sekarang udah married.
sempet iseng, ngirim ini ke sini. kalo pengin liat, ketik aja judulnya di keyword. ga bisa diliat di arsip artikel, mungkin karena memang sudah lama.
sebenernya, berharap banyak masukan soal cerita yang pertama (pertama yang aku inget. dulu waktu sma sering buat juga, tapi entah sekarang di mana) ini.

ps : gaya bahasa behind the scene kayanya kena pengaruh cerita pengarang di komik. soalnya beberapa hari gaulnya sama komik. jangan ditiru ya:p